Dalam upaya memperluas wacana
akademik dan kebudayaan di lingkungan kampus, BINUS kembali menyelenggarakan
BINUS Book Review dengan mengangkat salah satu karya terbaru dari akademisi dan
kritikus film terkemuka, Ekky Imanjaya, SS., MHum., MA., Ph.D. Acara ini
mengulas buku berjudul “The Real Guilty Pleasures: Menimbangulang Sinema
Eksploitasi Transnasional Orde Baru”, yang berlangsung pada 29 Juli 2025 di
BINUS @Kemanggisan Kampus Anggrek, dan diselenggarakan secara hybrid.
Kegiatan ini merupakan kolaborasi
antara BINUS Library & Knowledge Center, Knowledge Management Innovation, BINUS
Media & Publishing, serta BINUS Press, yang secara konsisten menghadirkan
diskusi-diskusi penting untuk memperkuat budaya literasi kritis di lingkungan
akademik. Dalam sesi ini, para peserta diajak untuk menelusuri ulang sejarah
perfilman Indonesia dari sudut pandang yang jarang dibahas secara terbuka, yaitu
sinema eksploitasi yang berkembang pada masa Orde Baru dan bagaimana sinema
tersebut berjejaring secara transnasional.
Dalam sambutan pembuka, Dr. Karto
Iskandar, S.Kom., M.M. selaku IS Development Manager at BINUS University,
menekankan pentingnya melihat sinema tidak hanya sebagai hiburan, tetapi
sebagai dokumen social politik yang merekam kompleksitas zamannya. Ia
menyampaikan bahwa melalui kegiatan ini, mahasiswa dan sivitas akademika dapat
memahami bagaimana film bisa menjadi medium kekuasaan, perlawanan, sekaligus
produk budaya global.
Pada sesi bedah buku, Dr. Ekky
Imanjaya membedah gagasannya dengan penuh semangat. Ia menjelaskan bahwa
film-film eksploitasi yang kerap dipandang sebelah mata sesungguhnya menyimpan
banyak lapisan makna dan potensi kritik, terutama dalam konteks politik budaya
Orde Baru dan keterhubungannya dengan pasar internasional. “Melalui buku ini,
saya ingin menunjukkan bahwa sinema eksploitasi bukan hanya soal estetika yang
vulgar atau narasi yang sensasional, tetapi juga bagaimana Indonesia dilihat
dan melihat dirinya sendiri dalam lanskap global,” ujar Ekky.
Buku ini membahas film-film
Indonesia era 1970–1990-an yang sering kali diproduksi dengan gaya eksotik dan
eksploratif untuk memenuhi selera pasar luar negeri. Dalam penjelasannya, Bapak
Ekky menyoroti bagaimana sinema seperti ini justru membuka ruang untuk memahami
politik representasi, ekonomi budaya, dan negosiasi identitas nasional di bawah
rezim otoriter.
Acara ini tidak hanya menjadi ajang
perkenalan buku, tetapi juga sebagai pemantik diskusi akademik lintas disiplin
mengenai sejarah kebudayaan visual Indonesia. Melalui pendekatan
interdisipliner yang diusung Bapak Ekky Imanjaya, buku ini diharapkan menjadi
referensi penting bagi peneliti, mahasiswa, dan sineas dalam membaca ulang
sejarah film nasional dari sudut pandang yang lebih kompleks dan jujur.
Dengan penyelenggaraan kegiatan
ini, BINUS berkomitmen mendukung pengembangan kajian budaya dan seni di
Indonesia. Upaya seperti ini menjadi bagian dari misi universitas untuk terus
menumbuhkan ruang dialog kritis yang inklusif dan reflektif, serta membina dan
memberdayakan masyarakat melalui pembangunan pengetahuan yang menguatkan.
Artikel ini juga tayang di Vritimes